01 October 2015

Beberapa Penggal Cerita



Penerbit: Insist Press Yogyakarta, 2005 | Desain sampul: Andy Seno Aji | Pengantar: Budi Darma


Ini hanya beberapa penggal ceritaku. Sebenarnya sudah lama aku ingin mengungkapkan tentang diriku yang sesungguhnya, Simaklah baik-baik. 

Aku hanya pelacur.
Genap empat tahun sudah, seratus tiga belas lelaki yang berbeda dan seorang lesbian pernah menikmati selangkanganku. Selangkangan yang paling aku banggakan.
Ya! Aku memutuskan menjadi pelacur ketika aku kuliah semester satu. Sejak tidak pernah pulang selama dua ratus malam. Di malam terakhir, Ibu berdandan seperti biasanya. Memakai gaun merah, sepatu Versace berhak 10 cm. Namun malam itu, ibu tidak memakai perhiasan sama sekali.
Seorang lelaki menjemputnya pada pukul 19.45. Perawakannya sangat kecil, bahkan lebih kecil dari Ibu. kulitnya kuning. Lelaki itu bahkan terlihat jauh lebih muda dibanding Ibu. Gaya berpakaiannya tidak seperti orang-orang yang Ibu ceritakan. Elegan dan berkelas. Dia hanya memakai raincoat dipadu dengan celana jeans dan sepatu gunung yang sudah lusuh.

01 December 2014

November

Akhirnya bisa melewati November. Bulan yang banyak menorehkan luka duka. Bulan kelahiran sekaligus perpisahan. Bulan di mana hujan bercerita tentang awal dan akhir sebuah perjalanan.
Ini bukan halaman terakhir. Tapi, lebih baik kututup saja catatan-catatan itu. Kulipat, kumasukkan ke dalam peti. Mungkin di November mendatang ia akan dibuka. Dibaca kembali. Untuk mengingatkan bahwa duka lama pernah ada, dan siap menerima kisah lara yang baru.

07 November 2014

Di Hari Kematian Ayah, Saya Tidak Menangis

Saya dan Ayah sedang beristirahat ketika akan rekreasi ke Candi Borobudur
Ini adalah hari kematian ayah. Tepat ketika saya mengetik di paragraf pertama ini.  7 November 2007, tujuh tahun lalu, di musim penghujan, ketika Ashar tiba. Malaikat menjemputnya.

Ketika itu, saya sedang berada di Jogja. Mendapat telepon, dari teman kecil saya Rara, yang saat ini juga sudah almarhum, ketika saya sedang memesan mi di warung indomie. Rara memberitahu kalau ayah sakit. Tapi, saya menebaknya, ayah meninggal. Benar saja, beberapa menit setelahnya, adik perempuan saya mengirim pesan pendek, “Put, pulang. Ayah meninggal.”

23 September 2014

Jempol yang Melepuh


Sabtu 20 September lalu, saya memasak sayur asem, tempe goreng, ikan asin, dan sambal untuk makan siang. Seperti biasanya jika saya mengerjakan pekerjaan rumah, Zeta akan menawarkan dirinya untuk membantu saya. “Bun, aku bantuin ya.” Tentu saja realita sesungguhnya adalah bermain dan mengacak-ngacak.

Zeta membantu dengan memasukkan jagung, labu siam, dan kacang panjang satu persatu ke dalam panci yang berisi air mendidih. Berkali-kali aku harus berkata, “Hati-hati ya, panas”. Dan Zeta selalu menjawabnya, “Iyalah. Aku kan udah gede.”

Zeta kemudian menghentikan memasukan sayuran ke dalam panci, karena dia tertarik dengan pekerjaan yang saya lakukan: memotong tempe dan mencelupnya ke dalam air garam. “Aku aja. Aku aja, ya.” Dengan semangat, Zeta mencelupkan tempe yang sudah diiris tadi, lalu meremas-remasnya, hingga ada beberapa potong tempe yang hancur. -___-

09 February 2014

Hari Terakhir Sebagai Ronin

Udara Jogjakarta sejuk. Dari ujung kaki hingga leher saya masih tertutup selimut. Masih dalam selimut, saya mencari warna langit melalui jendela ruang televisi yang menembus ke halaman belakang, yang tirainya jarang ditutup. Ungu tua. Bisa diperkirakan saat itu sekitar jam 5 pagi. Saya memiringkan badan ke kanan, menghadap anak laki-laki saya yang masih tertidur pulas. Tanpa selimut. Dia tak pernah mau pakai selimut. Meski udara begitu dingin. Saya menyingkap rambut yang menutup keningnya.

"Ini adalah hari terakhir kita bermalas-malas di pagi hari, Nak. Besok kamu mau tak mau akan ikut Bunda bangun subuh-subuh, mandi, sarapan. Bunda antar kamu ke day care, kemudian Bunda kerja. Tak ada alasan untuk bangun tidur, tidur lagi. Tak ada alasan untuk malas mandi. Mulai besok kita akan menjadi bagian orang-orang yang sibuk di pagi hari. Patuh terhadap jadwal yang tetap. Senin sampai Jumat."

Sudah beberapa bulan ini saya tidur di ruang tengah. Mengerjakan deadline-deadline layout buku, desain sampul, dan naskah-naskah ringan. Saya mencintai pekerjaan lama saya. Meski tak pasti dan tak tentu datangnya.

-agnesch-

03 February 2014

Lelaki yang Muncul Ketika Senja

Langit semburat jingga. Angsa-angsa riang bermain kejaran di danau. Tiga ekor burung menari ke sana ke mari. Dedaunan kering meliuk-liuk terbawa angin yang datang dan pergi memberi kesejukan bagi hati yang sedih dan kesepian. Sepasang kekasih meminggirkan perahunya lantas turun lalu pergi berdekapan dan berciuman.

Tidak jauh dari tempat itu ada seorang gadis duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon rindang sambil menatap pendar senja di air danau, ia baru menikmati senja di kota itu. Kota kelahirannya yang sudah ia tinggalkan empat tahun lalu semenjak harus melanjutkan sekolahnya ke sebuah perguruan tinggi di kota lain yang amat jauh letaknya. Sejak kecil ia memang sering pergi ke tempat itu untuk saling bercerita dengan danau. Bermain dan menatap senja persis seperti yang sedang ia lakukan sekarang. Ia memang menyukai senja. Tiada teman yang lebih setia dalam hidupnya selain danau.

01 February 2014

Dianti. Panggil Saja Dia Dianti.

Setiap kali lewat Nagan Kidul, saya selalu melihat perempuan itu. Duduk di trotoar. Melamun. Sesekali diam. Sesekali bicara. Sesekali marah-marah. Tubuhnya tidak begitu kumal. Dan acapkali ganti baju. Saya berpikir, mungkin perempuan itu warga perkampungan Nagan dan sekitarnya. Ketika siang dia nangkring di dekat taman belakang benteng. Atau sekadar duduk-duduk di trotoar, bersandar di spanduk caleg salah satu parpol yang membentang di pagar besi rumah orang, tepat di bawah pohon nangka.

Apakah ini lucu? Tentu tidak bagi saya. Saya miris. Miris setiap melihat perempuan itu, meski hanya beberapa detik saja, ketika melintasi tikungan itu kecepatan motor saya kira-kira 30 km/jam. Mengapa Dianti, anggap saja dia bernama itu, depresi dan nangkring di jalanan. Apakah dia dulunya seorang yang kaya kemudian bangkrut karena terjerat hutang yang banyak? Sakit karena keturunan? Atau dikecewakan orang yang dia cintai?

Hmmm, dikecewakan oleh orang yang dia cintai. Jika pasti karena itu, saya dapat membayangkan dan merasakan betapa pedihnya. Betapa terlukanya. Jiwa raga serta pikirannya tentulah sudah diserahkan kepada yang ia cintai. Utuh. Kemudian hancur seketika, bersama perasaan dan akal sehatnya.

Tentunya orang-orang seperti Dianti memiliki kepribadian melankolis yang dominan. Sama seperti saya. Di beberapa buku psikologi yang saya baca, bahwa orang-orang melankolis cenderung mudah gila. Jleb!