Penerbit: Insist Press Yogyakarta, 2005 | Desain sampul: Andy Seno Aji | Pengantar: Budi Darma |
Ini hanya beberapa penggal ceritaku. Sebenarnya sudah lama aku ingin mengungkapkan tentang diriku yang sesungguhnya, Simaklah baik-baik.
Aku hanya pelacur.
Genap empat tahun sudah, seratus tiga
belas lelaki yang berbeda dan seorang lesbian pernah menikmati selangkanganku.
Selangkangan yang paling aku banggakan.
Ya! Aku memutuskan menjadi pelacur
ketika aku kuliah semester satu. Sejak tidak pernah pulang selama dua ratus
malam. Di malam terakhir, Ibu berdandan seperti biasanya. Memakai gaun merah,
sepatu Versace berhak 10 cm. Namun malam itu, ibu tidak memakai perhiasan sama
sekali.
Seorang lelaki menjemputnya pada pukul
19.45. Perawakannya sangat kecil, bahkan lebih kecil dari Ibu. kulitnya kuning.
Lelaki itu bahkan terlihat jauh lebih muda dibanding Ibu. Gaya berpakaiannya
tidak seperti orang-orang yang Ibu ceritakan. Elegan dan berkelas. Dia hanya
memakai raincoat dipadu dengan celana
jeans dan sepatu gunung yang sudah lusuh.
“Maaf kali ini aku datang ke rumahmu.
Kamu siap?”
Ibu mengangguk. “Saya punya firasat
tidak enak malam ini. Menurut kabar, dia tidak mudah untuk ditundukkan. Dia
cukup cerdas untuk mengetahui siapa kita sebenarnya. Bagaimana kalau terjadi
sebaliknya? Malah kita yang masuk perangkap?”
“Sudahlah. Aku sudah siapkan kawan-kawan
untuk mengawasimu. Kalau terjadi apa-apa denganmu, kawan-kawan lain sudah siap
untuk bergerak. Aku sudah menghubungi orang kita di sana. Dia sudah mengatur
acara kencanmu malam ini. malah malam ini semakin mudah, skenario ada di tangan
kita.”
“Baiklah. Ayo kita berangkat.”
Kemudian, Ibu dan lelaki muda itu pergi.
Di luar hujan. Ibu cepat sekali kabur dari mataku. Dan sejak saat itu, Ibu
tidak pernah pulang. Lelaki itu pun, tidak pernah datang ke rumah, setidaknya
untuk memberi tahu di mana keberadaan Ibu. Berita di televisi, maupun di koran
tidak pernah menampilkan tentang sebuah kecelakaan atau apapun tentang Ibu.
Bahkan polisi tidak menemukan jejak Ibu
***
Aku pelacur dan Ibuku juga pelacur. Ya,
aku tahu Ibuku seorang pelacur. Sejak aku SMP, setiap pagi, ketika sarapan, Ibu
selalu berkisah tentang kencan malamnya. Setelah itu, Ibu selalu minta
pendapatku tentang lelaki yang berkencan dengannya. Ibu akan bahagia, jika lelaki
itu memperlakukan Ibu dengan baik atau memberikan Ibu hadiah-hadiah. Aku ikut
bahagia, ketika Ibu pun bahagia. Kadang-kadang kami terkekeh-kekeh kalau Ibu
bercerita hal-hal yang lucu selama berkencan.
“Ibu kira, jendral yang satu itu gagah,
baik di medan tempur atau pun di medan kasur. Eee...taunya belum perang kok
udah nyerah. Loyo, lemes, nengkuk!
Hahaha....”
Bagiku Ibu seorang perempuan yang hebat.
Selama Ibu bercerita, belum pernah satu pun cerita hal yang menyedihkan. Selalu
dengan senyuman dan gelak tawa. Bahkan ketika teman Ibu bercerita sambil
terisak-isak tentang pengalaman dirinya disiksa ketika bercinta dengan seorang
pejabat, Ibu malah penasaran ingin berkencan dengan lelaki itu. Dan terbukti
memang, Ibuku seorang perempuan yang luar biasa. Dengan penuh senyum, Ibu
bercerita kepada temannya, bahwa lelaki pejabat itu adalah lelaki yang sangat
manis dan penurut.
“Jeng Cindy, kita sebagai kaum
perempuan, harus tahu apa-apa saja tentang lelaki. Kita harus pintar-pintar
membaca apa yang terjadi di sekeliling kita, terutama apa yang akan dilakukan
oleh teman kencan kita nanti. Awalnya kita turuti apa saja keinginan mereka,
kita dengarkan apa yang mereka omongkan. Pokoknya, bagaimana dengan waktu yang
singkat kita bisa tahu siapa dan bagaimana mereka. Nah, baru setelah kita
temukan klik paling reaksioner di
antara keseluruhan sifatnya, di situlah kita akan sangat bisa merasuki dirinya,
bahkan mengendalikannya. Seseram apapun lelaki, dia akan tetap tunduk pada
selangkangan!”
“Jeng Cindy, kita jangan mau ditindas.
Dianggap lemah dan mudah dikendalikan. Apalagi kita kaum perempuan. Perempuan
pelacur.”
Ibuku memang pelacur. Aku bangga
padanya. Tapi, Ibu tidak pernah bangga terhadap dirinya yang pelacur. Untuk
menutupi pekerjaannya, Ibu membuka sebuah butik kecil di paviliun rumah dan
mempekerjakan dua karyawan untuk mengurusnya. Memang tidak seberapa hasil dari
butik. Cukup untuk menggaji dua karyawannya. Kekayaan Ibu sebagian besar, tentu
saja hasil dari sewa-menyewa selangkangan. Bahkan Ibu mampu menyekolahkanku di
sekolah-sekolah favorit yang mahal. Ibu tidak ingin aku menjadi seperti
dirinya. “Semua terserah kamu, Nak. Mau jadi dokter, penari, guru, pengusaha,
semuanya kamu sendiri yang menentukan. Asalkan jangan jadi pelacur. Ibu tidak
mau kamu direndahkan orang lain. Dihina. Cukup Ibu saja, Nak.”
“Tapi di film-film juga, pelacur bisa
jadi mata-mata musuh. Gimana kalau aku jadi mata-mata yang nyamar jadi
pelacur?” tanyaku. Dan Ibu hanya membalasnya dengan senyuman dan pelukan.
***
Ibuku memang pelacur. Aku bangga
padanya, karenanya, aku tidak butuh seorang ayah. Aku tidak tahu apa fungsinya
seorang ayah, jika Ibu sudah memberikan segalanya untukku. Sandang, pangan,
papan, semuanya terpenuhi. Bahkan kasih sayang yang melimpah ruah Ibu berikan untukku.
Pernah aku sekali bertanya tentang siapa
ayahku. Aku ingin tahu dimana dia sekarang. Dan bagaimana wajahnya, apakah aku
mirip?
“Ketika kamu lahir, ayahmu mati ditembak
polisi. Jasadnya hangus dibakar massa. Dan abunya terbang ke laut utara. Ketika
manusia mati, dia tidak akan berguna. Manusia hiduplah yang berguna. Ibu
manusia hidup, Nak. Ibulah yang berguna. Membesarkanmu, membahagiakanmu.”
“Lihat cermin itu, Nak. Lihatlah betapa
miripnya wajah kita. Tidak ada wajah ayahmu di situ.”
Ibu tersenyum. Merangkul tubuhku yang
masih kecil. Dan aku paham, aku tidak lagi butuh ayah, sebab ayahku sudah mati
dan tidak berguna lagi.
***
Ibuku seorang pelacur. Tapi Ibu tidak
pernah tahu kalau aku juga pelacur meneruskan bisnis sewa-menyewa selangkangan.
Aku ingin Ibu tahu, kalau aku menjadi perempuan seperti dirinya. Aku tahu Ibu
tidak ingin aku menjadi pelacur, tetapi dengan melacur, itu merupakan obat
rinduku pada Ibu.
Teman-teman diskusiku tidak ada yang
tahu kalau aku seorang pelacur. Mereka hanya tahu aku seorang sarjana sosial
dan suka menulis. Artikel, cerpen-cerpenku dimuat di beberapa media massa
nasional. Dan aku kerap menjadi pembicara di seminar-seminar. Aku sebenarnya
bangga menjadi diriku. Dan aku ingin semua orang tahu kalau akupun seorang
pelacur. Aku tidak ingin seperti Ibuku yang tidak pernah bangga menjadi dirinya
sebagai pelacur.
Aku ingin semua orang tahu, aku pelacur.
Tidak ada yang salah menjadi pelacur. Aku sudah muak dengan semua keterangan
jati diriku yang ditulis di akhir artikel dan cerpenku yang bertuliskan, Penulis seorang pecinta alam, pengamat
sosial, dan sastrawan. Atau Penulis,
mahasiswa anu, aktivis anu, lahir di anu, bekerja di anu. Aku bosan. Aku
sudah bosan dengan semua hal yang dianggap baik, mengatas-namakan norma dan
adat ketimuran.
Bandung, November 2004
* Cerita pendek ini ada di dalam buku antologi "Machine Sex and Love", bersama teman-teman Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Penerbit Insist Press Yogyakarta, 2005.
Terima kasih kepada Dewi Indra Puspitasari yang sudah mengetik ulang, ya. God bless you. :)
1 comment:
Ah, Embak, ceritamu bagus. Bagus banget. Aku suka.
Post a Comment