01 October 2015

Beberapa Penggal Cerita



Penerbit: Insist Press Yogyakarta, 2005 | Desain sampul: Andy Seno Aji | Pengantar: Budi Darma


Ini hanya beberapa penggal ceritaku. Sebenarnya sudah lama aku ingin mengungkapkan tentang diriku yang sesungguhnya, Simaklah baik-baik. 

Aku hanya pelacur.
Genap empat tahun sudah, seratus tiga belas lelaki yang berbeda dan seorang lesbian pernah menikmati selangkanganku. Selangkangan yang paling aku banggakan.
Ya! Aku memutuskan menjadi pelacur ketika aku kuliah semester satu. Sejak tidak pernah pulang selama dua ratus malam. Di malam terakhir, Ibu berdandan seperti biasanya. Memakai gaun merah, sepatu Versace berhak 10 cm. Namun malam itu, ibu tidak memakai perhiasan sama sekali.
Seorang lelaki menjemputnya pada pukul 19.45. Perawakannya sangat kecil, bahkan lebih kecil dari Ibu. kulitnya kuning. Lelaki itu bahkan terlihat jauh lebih muda dibanding Ibu. Gaya berpakaiannya tidak seperti orang-orang yang Ibu ceritakan. Elegan dan berkelas. Dia hanya memakai raincoat dipadu dengan celana jeans dan sepatu gunung yang sudah lusuh.


“Maaf kali ini aku datang ke rumahmu. Kamu siap?”
Ibu mengangguk. “Saya punya firasat tidak enak malam ini. Menurut kabar, dia tidak mudah untuk ditundukkan. Dia cukup cerdas untuk mengetahui siapa kita sebenarnya. Bagaimana kalau terjadi sebaliknya? Malah kita yang masuk perangkap?”
“Sudahlah. Aku sudah siapkan kawan-kawan untuk mengawasimu. Kalau terjadi apa-apa denganmu, kawan-kawan lain sudah siap untuk bergerak. Aku sudah menghubungi orang kita di sana. Dia sudah mengatur acara kencanmu malam ini. malah malam ini semakin mudah, skenario ada di tangan kita.”
“Baiklah. Ayo kita berangkat.”
Kemudian, Ibu dan lelaki muda itu pergi. Di luar hujan. Ibu cepat sekali kabur dari mataku. Dan sejak saat itu, Ibu tidak pernah pulang. Lelaki itu pun, tidak pernah datang ke rumah, setidaknya untuk memberi tahu di mana keberadaan Ibu. Berita di televisi, maupun di koran tidak pernah menampilkan tentang sebuah kecelakaan atau apapun tentang Ibu. Bahkan polisi tidak menemukan jejak Ibu

***

Aku pelacur dan Ibuku juga pelacur. Ya, aku tahu Ibuku seorang pelacur. Sejak aku SMP, setiap pagi, ketika sarapan, Ibu selalu berkisah tentang kencan malamnya. Setelah itu, Ibu selalu minta pendapatku tentang lelaki yang berkencan dengannya. Ibu akan bahagia, jika lelaki itu memperlakukan Ibu dengan baik atau memberikan Ibu hadiah-hadiah. Aku ikut bahagia, ketika Ibu pun bahagia. Kadang-kadang kami terkekeh-kekeh kalau Ibu bercerita hal-hal yang lucu selama berkencan.
“Ibu kira, jendral yang satu itu gagah, baik di medan tempur atau pun di medan kasur. Eee...taunya belum perang kok udah nyerah. Loyo, lemes, nengkuk! Hahaha....”
Bagiku Ibu seorang perempuan yang hebat. Selama Ibu bercerita, belum pernah satu pun cerita hal yang menyedihkan. Selalu dengan senyuman dan gelak tawa. Bahkan ketika teman Ibu bercerita sambil terisak-isak tentang pengalaman dirinya disiksa ketika bercinta dengan seorang pejabat, Ibu malah penasaran ingin berkencan dengan lelaki itu. Dan terbukti memang, Ibuku seorang perempuan yang luar biasa. Dengan penuh senyum, Ibu bercerita kepada temannya, bahwa lelaki pejabat itu adalah lelaki yang sangat manis dan penurut.
“Jeng Cindy, kita sebagai kaum perempuan, harus tahu apa-apa saja tentang lelaki. Kita harus pintar-pintar membaca apa yang terjadi di sekeliling kita, terutama apa yang akan dilakukan oleh teman kencan kita nanti. Awalnya kita turuti apa saja keinginan mereka, kita dengarkan apa yang mereka omongkan. Pokoknya, bagaimana dengan waktu yang singkat kita bisa tahu siapa dan bagaimana mereka. Nah, baru setelah kita temukan klik paling reaksioner di antara keseluruhan sifatnya, di situlah kita akan sangat bisa merasuki dirinya, bahkan mengendalikannya. Seseram apapun lelaki, dia akan tetap tunduk pada selangkangan!”
“Jeng Cindy, kita jangan mau ditindas. Dianggap lemah dan mudah dikendalikan. Apalagi kita kaum perempuan. Perempuan pelacur.”
Ibuku memang pelacur. Aku bangga padanya. Tapi, Ibu tidak pernah bangga terhadap dirinya yang pelacur. Untuk menutupi pekerjaannya, Ibu membuka sebuah butik kecil di paviliun rumah dan mempekerjakan dua karyawan untuk mengurusnya. Memang tidak seberapa hasil dari butik. Cukup untuk menggaji dua karyawannya. Kekayaan Ibu sebagian besar, tentu saja hasil dari sewa-menyewa selangkangan. Bahkan Ibu mampu menyekolahkanku di sekolah-sekolah favorit yang mahal. Ibu tidak ingin aku menjadi seperti dirinya. “Semua terserah kamu, Nak. Mau jadi dokter, penari, guru, pengusaha, semuanya kamu sendiri yang menentukan. Asalkan jangan jadi pelacur. Ibu tidak mau kamu direndahkan orang lain. Dihina. Cukup Ibu saja, Nak.”
“Tapi di film-film juga, pelacur bisa jadi mata-mata musuh. Gimana kalau aku jadi mata-mata yang nyamar jadi pelacur?” tanyaku. Dan Ibu hanya membalasnya dengan senyuman dan pelukan.

***

Ibuku memang pelacur. Aku bangga padanya, karenanya, aku tidak butuh seorang ayah. Aku tidak tahu apa fungsinya seorang ayah, jika Ibu sudah memberikan segalanya untukku. Sandang, pangan, papan, semuanya terpenuhi. Bahkan kasih sayang yang melimpah ruah Ibu berikan untukku.
Pernah aku sekali bertanya tentang siapa ayahku. Aku ingin tahu dimana dia sekarang. Dan bagaimana wajahnya, apakah aku mirip?
“Ketika kamu lahir, ayahmu mati ditembak polisi. Jasadnya hangus dibakar massa. Dan abunya terbang ke laut utara. Ketika manusia mati, dia tidak akan berguna. Manusia hiduplah yang berguna. Ibu manusia hidup, Nak. Ibulah yang berguna. Membesarkanmu, membahagiakanmu.”
“Lihat cermin itu, Nak. Lihatlah betapa miripnya wajah kita. Tidak ada wajah ayahmu di situ.”
Ibu tersenyum. Merangkul tubuhku yang masih kecil. Dan aku paham, aku tidak lagi butuh ayah, sebab ayahku sudah mati dan tidak berguna lagi.

***

Ibuku seorang pelacur. Tapi Ibu tidak pernah tahu kalau aku juga pelacur meneruskan bisnis sewa-menyewa selangkangan. Aku ingin Ibu tahu, kalau aku menjadi perempuan seperti dirinya. Aku tahu Ibu tidak ingin aku menjadi pelacur, tetapi dengan melacur, itu merupakan obat rinduku pada Ibu.
Teman-teman diskusiku tidak ada yang tahu kalau aku seorang pelacur. Mereka hanya tahu aku seorang sarjana sosial dan suka menulis. Artikel, cerpen-cerpenku dimuat di beberapa media massa nasional. Dan aku kerap menjadi pembicara di seminar-seminar. Aku sebenarnya bangga menjadi diriku. Dan aku ingin semua orang tahu kalau akupun seorang pelacur. Aku tidak ingin seperti Ibuku yang tidak pernah bangga menjadi dirinya sebagai pelacur.
Aku ingin semua orang tahu, aku pelacur. Tidak ada yang salah menjadi pelacur. Aku sudah muak dengan semua keterangan jati diriku yang ditulis di akhir artikel dan cerpenku yang bertuliskan, Penulis seorang pecinta alam, pengamat sosial, dan sastrawan. Atau Penulis, mahasiswa anu, aktivis anu, lahir di anu, bekerja di anu. Aku bosan. Aku sudah bosan dengan semua hal yang dianggap baik, mengatas-namakan norma dan adat ketimuran.

Bandung, November 2004 


* Cerita pendek ini ada di dalam buku antologi "Machine Sex and Love", bersama teman-teman Akademi Kebudayaan Yogyakarta (AKY). Penerbit Insist Press Yogyakarta, 2005.
Terima kasih kepada Dewi Indra Puspitasari yang sudah mengetik ulang, ya. God bless you. :)

1 comment:

@tikahkumala said...

Ah, Embak, ceritamu bagus. Bagus banget. Aku suka.