09 February 2014

Hari Terakhir Sebagai Ronin

Udara Jogjakarta sejuk. Dari ujung kaki hingga leher saya masih tertutup selimut. Masih dalam selimut, saya mencari warna langit melalui jendela ruang televisi yang menembus ke halaman belakang, yang tirainya jarang ditutup. Ungu tua. Bisa diperkirakan saat itu sekitar jam 5 pagi. Saya memiringkan badan ke kanan, menghadap anak laki-laki saya yang masih tertidur pulas. Tanpa selimut. Dia tak pernah mau pakai selimut. Meski udara begitu dingin. Saya menyingkap rambut yang menutup keningnya.

"Ini adalah hari terakhir kita bermalas-malas di pagi hari, Nak. Besok kamu mau tak mau akan ikut Bunda bangun subuh-subuh, mandi, sarapan. Bunda antar kamu ke day care, kemudian Bunda kerja. Tak ada alasan untuk bangun tidur, tidur lagi. Tak ada alasan untuk malas mandi. Mulai besok kita akan menjadi bagian orang-orang yang sibuk di pagi hari. Patuh terhadap jadwal yang tetap. Senin sampai Jumat."

Sudah beberapa bulan ini saya tidur di ruang tengah. Mengerjakan deadline-deadline layout buku, desain sampul, dan naskah-naskah ringan. Saya mencintai pekerjaan lama saya. Meski tak pasti dan tak tentu datangnya.

-agnesch-

03 February 2014

Lelaki yang Muncul Ketika Senja

Langit semburat jingga. Angsa-angsa riang bermain kejaran di danau. Tiga ekor burung menari ke sana ke mari. Dedaunan kering meliuk-liuk terbawa angin yang datang dan pergi memberi kesejukan bagi hati yang sedih dan kesepian. Sepasang kekasih meminggirkan perahunya lantas turun lalu pergi berdekapan dan berciuman.

Tidak jauh dari tempat itu ada seorang gadis duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon rindang sambil menatap pendar senja di air danau, ia baru menikmati senja di kota itu. Kota kelahirannya yang sudah ia tinggalkan empat tahun lalu semenjak harus melanjutkan sekolahnya ke sebuah perguruan tinggi di kota lain yang amat jauh letaknya. Sejak kecil ia memang sering pergi ke tempat itu untuk saling bercerita dengan danau. Bermain dan menatap senja persis seperti yang sedang ia lakukan sekarang. Ia memang menyukai senja. Tiada teman yang lebih setia dalam hidupnya selain danau.

01 February 2014

Dianti. Panggil Saja Dia Dianti.

Setiap kali lewat Nagan Kidul, saya selalu melihat perempuan itu. Duduk di trotoar. Melamun. Sesekali diam. Sesekali bicara. Sesekali marah-marah. Tubuhnya tidak begitu kumal. Dan acapkali ganti baju. Saya berpikir, mungkin perempuan itu warga perkampungan Nagan dan sekitarnya. Ketika siang dia nangkring di dekat taman belakang benteng. Atau sekadar duduk-duduk di trotoar, bersandar di spanduk caleg salah satu parpol yang membentang di pagar besi rumah orang, tepat di bawah pohon nangka.

Apakah ini lucu? Tentu tidak bagi saya. Saya miris. Miris setiap melihat perempuan itu, meski hanya beberapa detik saja, ketika melintasi tikungan itu kecepatan motor saya kira-kira 30 km/jam. Mengapa Dianti, anggap saja dia bernama itu, depresi dan nangkring di jalanan. Apakah dia dulunya seorang yang kaya kemudian bangkrut karena terjerat hutang yang banyak? Sakit karena keturunan? Atau dikecewakan orang yang dia cintai?

Hmmm, dikecewakan oleh orang yang dia cintai. Jika pasti karena itu, saya dapat membayangkan dan merasakan betapa pedihnya. Betapa terlukanya. Jiwa raga serta pikirannya tentulah sudah diserahkan kepada yang ia cintai. Utuh. Kemudian hancur seketika, bersama perasaan dan akal sehatnya.

Tentunya orang-orang seperti Dianti memiliki kepribadian melankolis yang dominan. Sama seperti saya. Di beberapa buku psikologi yang saya baca, bahwa orang-orang melankolis cenderung mudah gila. Jleb!