Langit semburat jingga.
Angsa-angsa riang bermain kejaran di danau. Tiga ekor burung menari ke sana ke
mari. Dedaunan kering meliuk-liuk terbawa angin yang datang dan pergi memberi
kesejukan bagi hati yang sedih dan kesepian. Sepasang kekasih meminggirkan
perahunya lantas turun lalu pergi berdekapan dan berciuman.
Tidak jauh dari tempat
itu ada seorang gadis duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon rindang
sambil menatap pendar senja di air danau, ia baru menikmati senja di kota itu.
Kota kelahirannya yang sudah ia tinggalkan empat tahun lalu semenjak harus
melanjutkan sekolahnya ke sebuah perguruan tinggi di kota lain yang amat jauh
letaknya. Sejak kecil ia memang sering pergi ke tempat itu untuk saling
bercerita dengan danau. Bermain dan menatap senja persis seperti yang sedang ia
lakukan sekarang. Ia memang menyukai senja. Tiada teman yang lebih setia dalam
hidupnya selain danau.
Gadis itu tengah
memutar-mutar cincin yang terjalin di jari manis kirinya. Kemarin ia baru
ditunangkan dengan seorang arsitek. Itulah sebabnya ia pulang dari kota tempat
ia kuliah hanya untuk saling melingkarkan cincin.
“Aku benci pertunangan
ini,” ujar gadis itu bergumam sendiri, “Sungguh aku lebih mencintai angsa-angsa
itu daripada lelaki pujaan ayahku.” Bibirnya bergetar, hampir menangis. Ia
tidak bisa menolak keinginan ayahnya. Ia memang tidak pernah bisa menolak
permintaan ayahnya. Ia seorang anak yang patuh.
Langit lembayung merona.
Angsa-angsa belum lelah bermain kejaran. Tiga ekor burung bernyanyi-nyanyi di
dahan pohon mangga. Dedaunan berdansa diiringi alunan angin dan petikan gitar.
Merdu, merdu sekali. Ada yang menarik telinganya, bahwa ada sebuah suara indah selain
desahan angin. Suara yang menyejukan kalbunya. “Siapakah yang memainkan musik
seindah suara senja ?” tanyanya mengkerutkan kening. Ia mengamati seorang
lelaki tengah duduk di bawah akasia yang tertunduk serius menggerakkan
jamarinya pada senar gitar. Wajah lelaki itu tidak begitu jelas karena sebagian
tertutup rambut ikalnya sebahu. Hanya bibir dan ujung hidungnya yang terlihat.
Perlahan-lahan tangan
mahir itu menghentikan permainannya. Lelaki itu bersandar pada batang akasia
lalu tengadahkan kepalanya. Sekarang barulah jelas raut wajahnya. Matanya
terpejam. Ia menarik napas dalam-dalam, lantas mengeluarkannya sekaligus
kemudian membuka matanya. Tertujulah tatapannya ke pendar air danau.
Pandangannya jauh, menembus kepada sesuatu yang entah apa. Sorot matanya
menunjukan bahwa lelaki itu telah kehilangan sesuatu yang sangat berarti. Mata
yang memiliki kemisterian. Seperti cinta, ya cinta. Lelaki itu kembali
memainkan gitarnya. Kini wajahnya remang oleh pantulan sinar senja. Gedis itu
tersenyum penuh arti, hatinya berdansa dengan alunan gitar lelaki yang sama
sekali tidak dikenalinya. Mungkin lelaki itu baru tinggal di sini. Atau baru
kali ini datang ke sini.
Senja terpoles ungu.
Angsa-angsa telah lelah bermain kejaran. Tiga ekor burung telah berpulang ke
tempat melepas sayapnya. Angin masih menggerakkan ujung dedaunan. Gadis itu dengan resah
beranjak dari tempat duduknya lantas melangkah menuju rumahnya. Bayangan lelaki
itu pun telah lenyap di ujung senja. Danau menjadi sunyi.
**
Langit semburat jingga.
Angsa-angsa riang bemain kejaran di danau. Tiga ekor burung menari-nari ke sana
ke mari. Dedaunan kering berjauhan meliuk-liuk terbawa angin yang datang dan
pergi. Gadis duduk di sebuah kursi panjang di bawah pohon rindang sambil
menatap pendar senja di air danau. Seperti hari kemarin di sini.
Kini gadis itu merasakan
kesepian yang sebenar-benarnya sepi. Sepi yang memenjarakan jiwanya. “Aku ingin
bebas seperti angin !”jerit hatinya kepada langit. Menangislah ia, lantas angin
menjawabnya. Dihapusnya air mata itu dengan jemarinya setelah suara gitar
lelaki kemarin mengalun mengantar senja. Jiwa gadis itu terbelai. Ia amat
menyukai lagu lelaki itu. Sungguh serasi dengan senja. Kini gadis itu
tidak sepi lagi. Ia merasakan kedamaian dalam senja. Begitu pula dengan senja
berikutnya dan berikutnya, seperti senja yang lalu. Seorang gadis pecinta senja
dengan seorang lelaki yang muncul ketika senja, hanya untuk menghibur angin
dengan gitarnya. Meskipun mereka tidak pernah bicara untuk saling kenal, namun
pendar air danau telah menyatukan jiwa mereka untuk datang kepada senja yang
sama.
Senja terpoles ungu.
Angsa-angsa telah lelah bermain kejaran. Burung-burung telah berpulang ke
tempat melepas sayapnya. Angin masih bergentayangan mengantar malam. Gadis
pecinta senja itu duduk di kursi panjang seperti biasanya. Ia menunggu lelaki
yang telah memberikan kerinduan baginya. Lelaki yang memberikan senja terindah
selama hidupnya. Namun ia tak menemukan lelaki itu senja ini. Padahal besok ia
akan pergi ke kota tempat ia kuliah. Sunguh amat kecewa jiwa gadis itu. Ia
telah berniat bahwa senja ini akan bicara kepada lelaki itu untuk saling
mengenal. Untuk mengatakan bahwa ia suka dengan lagu-lagu lelaki itu. Ia ingin
mengucapkan terima kasih atas segala keindahan yang telah diberikan kepadanya.
**
Meja-meja itu terlihat
lengang. Lampu-lampu Jepang belum terlihat terang. Beberapa lilin menyala di
tengah-tengah meja. Ada beberapa orang yang tengah bersantap. Para
pemusik tengah memainkan lagu yang gelisah.
“Saya minta steak dangan
cappucino,” pinta seorang lelaki kepada pelayan. “Kamu mau pesan apa ?”
tanyanya kemudian kepada gadis yang duduk di depannya.
“Tequila,” jawab gadis
itu acuh tak acuh. Pelayan mencatat pesanan mereka lalu berbalik melangkah.
“Sejak kapan kau suka
minum?” tanya si lelaki.
“Sejak aku iri kepada
angin yang bebas.”
Pria mengernyitkan
kening. Gadis tak menolehnya selirik pun. Pandangannya tertuju kepada cemara
boncel yang landai oleh angin. Sepasang kekasih
beranjak dari mejanya. Mereka tertawa cekikikan. Kemudian sepasang orang tua
duduk berhadapan, berdekatan dengan para pemusik yang masih memainkan lagu yang
sama. Para pengunjung dengan santun datang dan pergi di restoran itu. Sepiring steak, secangkir cappucino dan segelas Tequila dihidangkan pada meja yang
pendar oleh sebuah lilin merah.
“O..ya, bagaimana kalau
setelah ini kita mencari gaun pengantin untukmu? Aku ada kenalan yang...”
“Sudahlah aku tidak mau
bicara soal itu!” sela si gadis, lantas meneguk sedikit tequilanya seperti
yang biasa dilakukan orang-orang jika minum. Ia masih memegang leher gelas dan
menatapnya. “Aku masih kuliah, aku tidak mau buru-buru menikah.” Ia meneguk
tequilanya lagi yang kini tinggal setengahnya. Ia melihat senja di gelas itu.
Betapa ia sangat merindukan danau yang dihiasi angsa yang bermain kejaran,
burung-burung, dedaunan kering yang meliuk-liuk terbawa angin dan lelaki yang
telah memberikan senja terindah. Wajah sendu penuh cinta. Betapa ia ingin
berjumpa dengan lelaki itu. “Aku merindukannya,” bisik hatinya. Mata gadis itu
berbinar.
Langit jingga. Meja-meja
masih terlihat lengang dengan beberapa lilin yang menyala, seperti 20 menit
yang lalu. Lampu-lampu Jepang belum menguning. Tumbuhan di luar landai.
Sebuah musik indah
membelai jiwa gadis itu. Ia merasakan keindahan senja yang benar-benar indah.
“Musik itu,” tiba-tiba ia sadar bahwa ada sebuah musik yang telah membelai
jiwanya adalah musik yang sudah begitu ia kenali. Musik yang nyata terdengar.
“Lelaki senja itu.” Ia melihat seorang lelaki yang dirindukannya pada suatu
senja, tengah bermain gitar di sebuah restoran tempat pemusik-pemusik lalu
memainkan lagu gelisah. Gadis itu menatap lelaki yang muncul setiap senja sama
seperti tatapannya ketika angin membasuh lehernya di sebuah danau beberapa
waktu yang lampau.
Tepuk tangan dari para
pengunjung diberikan untuk lelaki senja itu yang telah selesai bermain gitar.
Lelaki itu mengangguk mengucapkan terima kasih dengan senyuman. Lantas mata
sendunya melirik si gadis pecinta senja dan menatapnya beberapa kejap. Ia pun
turun dari panggung, lalu lenyap di balik pintu.
“Aku mencintaimu.” Bisik
gadis itu dengan seulas senyum. Pendar senja berkilat pada coklat rambutnya.
Kehangatan asmaranya bergejolak. Lagu gelisah mengubahnya. “Aku harus
mengejarnya, aku harus bicara padanya.” Gadis beranjak ke luar tanpa mempedulikan
pria tunangannya yang hanya melongo. Gadis itu sudah berada di trotoar di depan
restoran, ia memaling-malingkan kepalanya. Dilihatnya lelaki senja itu telah
jauh berjalan ke barat, lalu jasadnya pun semakin mengecil tertelan senja. Si
gadis hanya mematung tak mengejar. Ia yakin esok lelaki itu akan muncul kembali
ketika senja seperti saat-saat yang lalu. Untuk memberikan senja terindah dalam
hidupnya.
Adakah
jingga yang lebih indah selain jingga ketika senja ?
***
Tasikmalaya, 2000
catatan:
Sebelumnya saya mengucapkan terimakasih kepada entah siapa namanya, yang sudah berbaik hati mendokumentasikan cerpen saya ini dalam blognya:
Kalau tidak salah saya ingat, cerpen ini saya tulis tahun sekitar bulan Maret-April 2000 ketika saya masih kelas 3 SMA, ketika liburan minggu tenang menjelang Ebtanas (bener gak sih namanya waktu itu Ebtanas? Ujian akhir untuk dapat NEM itu, lho...).
Saya tulis pake tulisan tangan, lalu saya salin di mesin tik. Hasil ketikan saya, diketik ulang oleh teman sekelas saya, namanya Hilman Hermawan (Josh) di komputernya. Secara pada zaman itu cuma dia yang sudah punya komputer canggih bernama Pentium 1. Cerpen ini kemudian saya kirim ke sebuah milis sastra. Nama pena saya ketika itu Agnes Puput Chintami. Hihihi.
Waktu itu saya sedang keranjingan baca Gabriel Garcia Marquez dan Seno Gumbira. Bisa dilihat dari gayanya, kan? Hahaha. :p
No comments:
Post a Comment