27 June 2005

Sabtu Tak Pernah Datang


Sekeloa, 15.08 WIB


Siapa yang datang beratus tahun lalu
Yang membawa senjata dan peluru
Yang memaksa membangun sepur dengan palu
Yang menciptakan gedung-gedung dengan batu
Kau!

...

Sebuah puisi yang tak kau selesaikan. Tak sengaja aku membacanya kembali d iantara file-file yang kau simpan di komputerku. Kau yang hampir terlupakan. Dan mungkin akan terlupakan jika saja aku langsung mendelete file-file yang kuanggap sampah itu.

Kau akan menunggu lama.

Kalimat itulah yang kau tulis di notes yang menempel di pintu kamar kostku. Kalimat yang baru saja kumengerti. Bahwa kau benar-benar pergi. Lama. Dan entah kapan kembali. Kalimat itu pula yang memaksaku untuk selalu menunggumu. Bahkan mencarimu.

*

Pertengahan September yang panas adalah pertemuan pertama denganmu. Ketika seorang tukang bakso tak sengaja memecahkan dua lusin mangkoknya sebab dikejar-kejar aparat ketertiban umum. Ketika hujan tak kunjung turun dan harga bawang merah naik menjadi Rp. 8.000,-/kg. Ketika Ali sahabatmu menarik tangan seorang gadis untuk menemaninya bernyanyi dangdut.

Aku melihatmu pada acara dies natalis kampus di lapangan parkir siang itu. Pada tahun pertama aku menjadi mahasiswa. Kau memakai kaos berwarna tanah, celana jins, dan sepatu kets yang sudah belel. Tangan kananmu memegang megaphone dan berpuisi. Kau seperti Federico Garcia Lorca yang membaca puisi untuk kekasihnya, sehari sebelum dia dieksekusi oleh rezim fasis Spanyol masa Fransisco Franco.


Awal perkenalanku denganmu adalah perkenalan yang biasa-biasa saja. Sepupuku yang memperkenalkannya. Tiada yang istimewa darimu, kecuali rokok yang kau hisap persis seperti rokok kakekku yang sudah mati. Aku tahu betul, sebab kakekku sedang menghisapnya di pernikahannya dengan nenekku. Pada sebuah foto tua yang selalu disembunyikan di sela buku ayahku. Buku berbahasa inggris yang hampir tidak pernah dibacanya. Buku tua itu berjudul Anti Duhring. Mungkin buku itu dulu milik kakekku. Selain foto, ada beberapa lembar papir yang belum sempat dilinting. Papir itu pun sudah menguning. Ada garis merah pudar di sisinya. Persis rokok lintingan yang sedang kau hisap siang itu.

Kau menjabat tanganku. Tanganmu agak kasar. Dan beberapa bekas luka bertengger di lenganmu. Lalu kau duduk di sebelah sepupuku. Kalian membicarakan kekonyolan tingkah laku Ali, sahabatmu, ketika bernyanyi dangdut ala Rhoma Irama. Dan sejak itu aku tak pernah melihatmu selama beberapa bulan.

**



Sekeloa, 16.35 WIB

Sore ini, kawan kampusku, Irena, berhasil memaksaku untuk menemaninya nonton teater Raja Mati. Lakon karya Eugene Ionesco yang pernah kumainkan lima tahun lalu, bersama teman-teman di kelompok teater, di kota kelahiranku. Kota ibuku. Setelah ibu bercerai dengan ayahku. Tentu saja sebelum bertemu denganmu. Saat itu aku masih SMU kelas tiga. Boleh dibilang itu pertunjukan terakhirku. Sebelum akhirnya aku melanjutkan kuliah di Bandung, dan tidak melanjutkan keteateranku. Teater di tempatku kuliah, tidak begitu menggairahkan. Dan aku terlalu malas untuk membangun sebuah kelompok teater dari awal. Aku lebih tertarik pada fotografi dan desain grafis. Memang, kadang aku rindu dengan suasana teater. Untuk mengobatinya aku memilih nonton saja dan memotretnya sesekali.

Bip..bip.. Ponselku berbunyi. Irena sms, maennya ntar jam 19.30. Tapi lo kesini aja. Gue lagi minum kopi. Lagi ngobrol. Buruan!

Kupastikan kamarku terkunci. Sandal jepit, tas ransel, dan jaket tebal merah kesayanganku sudah terpasang di tubuhku. Jalanan masih basah. Angkot yang kunaiki lengang.


*

Aku bertemu denganmu kembali ketika kita sama-sama menjadi peserta pameran karikatur. Kau menyapaku. Pada saat aku tengah menerima telepon dari kekasihku. Pada saat hujan sudah mulai turun dan ayahku berkali-kali memintaku segera pulang ke Jakarta sebab rumahnya terkena banjir setinggi 1,5 meter. Kau memakai celana jins yang sama seperti pertama kali aku meliharmu. Lusuh dan robek. Rambutmu sedikit lebih panjang. Dan penampilanmu terlihat rapi.

Kemudian kita bercakap. Percakapan itu diawali cerita bahwa kau selama enam bulan terakhir berada di Papua untuk riset sistem pendidikan sekolah dasar di sana. Kau memperlihatkan foto-foto lucu mereka. Anak-anak kecil bertelanjang dada di pantai. Melukis burung dan pohon di pasir. Serta rumah-rumah yang sempit dan gelap. Kau berkata suatu saat kau akan tinggal di sana. Menjadi guru. Belajar melukis di atas pasir bersama mereka.

Aku mulai mengenalmu. Lebih dalam. Kau tahu aku punya kekasih. Kita pergi sebulan kemudian setelah pameran itu. Menyusuri jalanan dan trotoar. Singgah di museum-museum dan gereja-gereja. Makan jagung bakar dan minum bandrek di pinggir jalan. Kau mengajakku untuk membuat buletin komik tanpa label. Di halaman mukanya hanya bertuliskan segurat tag line ‘anti hak cipta’. Kau memang tidak menyukai hak kepemilikan pribadi. Bagimu sebuah karya adalah milik bersama. Bebas dimiliki siapapun. Bebas dicontek dan difotokopi, bahkan dibajak sekalipun. Seperti halnya Tuhan yang membebaskan manusia untuk membagi-bagi, memiliki, dan melukis ciptaan-Nya.

Mengapa kau begitu baik? Mengapa kau begitu menakjubkan dan menggairahkan?


Dengarlah!Kau akan terus kukejar.
Akan kutinggalkan kekasihku.

**


Jalan Purnawarman, 17.07 WIB

Di luar pagar, kulihat Irena sedang duduk. Di mejanya ada tiga cangkir kopi, sebuah asbak, dan kertas-kertas. Dia tidak sendiri. Ada dua lelaki sedang ngobrol dengannya. Yang satu sepertinya kukenal. Dia berdandan perlente. Rambutnya acak mengkilap disertai kacamata gaya berlensa kuning. Ya, ya, kukenal lelaki itu. Orang-orang memanggilnya Bacot. Aku mengenalnya di sebuah acara peluncuran buku. Kaupun mengenalnya. Akrab.
Kuurungkan niatku untuk menghampiri Irena. Aku malas bertemu Bacot. Dia terlalu banyak bicara. Senang membicarakan dirinya. Terakhir bertemu, dia membicarakan novel yang akan ditulisnya. Katanya, rencana novel itu bercerita pengalaman dirinya yang futuristis. Aha! Aku ingat sms dari kawanku di Yogyakarta seminggu yang lalu, Kau kenal Bacot anak Bandung? Anak ITB yang mirip Jim Carey itu lho. kemarin dia datang ke tempat membahas novel dan puisi-suisi terbarunya. SMS itu kubalas, Ya, dia temanku.

Lalu kawanku segera membalas lagi dengan kata-kata yang sedikit mengejutkan, temanmu itu eksistensialis. Terlalu banyak omong. Ya, aku sependapat. Segera kuputuskan saja untuk membatalkan menemani Irena nonton Raja Mati hari ini. Toh, dia sudah punya teman nonton. Segera kusms Irena, Sori, gue ga bisa nemenin elo. Lo dah ada temen kan? Gue ada perlu, nih, mendadak.

Aku berbohong. Ponsel segera kumatikan. Aku tahu Irena pasti kecewa. Lebih baik kucari saja engkau. Tapi sungguh, aku sedang malas untuk menanggapi omongan-omongan Bacot.


**


Jalan Merdeka, 17.23 WIB

Di manakah kau? Di manakah kekasihku? Aku kehilanganmu setelah kita sama-sama mencari Wahyu pasca evakuasi buruh-buruh Kahatex siang itu. Ibunya menangis ketika dia ditemukan pingsan di gang sempit dan sepi. Telinga, hidung, dan mulutnya mengeluarkan darah. Rahang dan pelipisnya luka dan memar. Aku mengantarnya ke rumah sakit. Kau lalu pergi ke kantor polisi untuk mengurus lima kawan lain yang tertangkap. Dan aku hanya menemukan tulisanmu di pintu kamarku.

Kau akan menunggu lama.

Seminggu kemudian tiga lelaki besar mengintip jendela dan menggedor pintu rumahmu. Mereka menunggumu. Lama. Bosan. Dan marah. Namun kau tak kunjung muncul.
Aku juga menunggumu. Memang menunggumu. Lama. Kususuri jejakmu di sepanjang jalanan dan trotoar. Kusinggahi museum-museum dan gereja-gereja, tempat favoritmu. Kau menyukai kesunyian. Aku selelu mengikutimu, dan aku menyukainya.


**

Halaman Gereja Katedral, 18.25 WIB

Akhirnya aku tiba di tempatmu. Tak ada burung. Tak ada suara lonceng dan nyanyian. Daun-daun basah dan tua berceceran di halaman gereja. Kau pernah mengajakku menikah di sini. Tanpa pastor, tanpa cincin, tanpa saksi, dan tanpa tamu undangan. Hanya kau, aku, dan sebuah ciuman panjang.

Mereka menginginkanku mati
Menginginkanku terbakar dan meleleh
di neraka
Bahkan menyegel kuburan
dan gereja-gereja
Aku tak pernah diinginkan. Tak pernah.


Kau di mana? Aku nyaris melupakanmu. Aku telah lupa bentuk matamu, hidungmu, juga tanganmu. Aku hanya ingat celana jeansmu yang sudah robek di kedua lutut dan pantatnya. Beberapa buku dan kaos oblongmu masih tertinggal di kamarku. Hei, film Malena yang kau sewa belum dikembalikan. Siang tadi si Mas yang punya rental menanyakannya padaku.

Mereka membunuhku, berkali-kali
Menyandera otak dan kegilaanku
Melarangku menulis, membaca buku dan puisi.
Bendera-bendera itu telah koyak
Oleh kuku-kuku dan taring mereka
Yang sebelumnya basah
Terkena muncratan air liurnya, sebab
Berkata padaku, “Hai, Kamerad!
Enyahlah. Surga proletariatmu takkan pernah ada!”
Tapi mengapa aku tak mati-mati?


**

Halaman Gereja katedral, 21.43 WIB

Masih kutunggu kau di sini. Misa sudah selesai. Orang-orang sudah pulang dan sepi. Tapi tak juga kutemukan kamu di antara mereka. Aku mulai bosan menunggumu. Berhari-hari. Berminggu-minggu. Berbulan-bulan. Mungkin bertahun-tahun.

Kuputuskan untuk segera pergi saja. Sebab sudah gerimis. Jalanan dan trotoar yang sudah beribu kali kuinjak, kini terulang. Tapi, siluet tubuhmu muncul di bawah lampu jalanan yang remang. Kau berjalan dengan api. Menyusup di antara cadas-cadas hujan yang mulai deras. Membawa palu di tangan kiri dan arit di tangan kanan.

***

Tasikmalaya - Bandung, Maret 2005

-agnesch-

2 comments:

AI said...

two thumb

Agnes Chintami said...

Makasih yaa