01 February 2014

Dianti. Panggil Saja Dia Dianti.

Setiap kali lewat Nagan Kidul, saya selalu melihat perempuan itu. Duduk di trotoar. Melamun. Sesekali diam. Sesekali bicara. Sesekali marah-marah. Tubuhnya tidak begitu kumal. Dan acapkali ganti baju. Saya berpikir, mungkin perempuan itu warga perkampungan Nagan dan sekitarnya. Ketika siang dia nangkring di dekat taman belakang benteng. Atau sekadar duduk-duduk di trotoar, bersandar di spanduk caleg salah satu parpol yang membentang di pagar besi rumah orang, tepat di bawah pohon nangka.

Apakah ini lucu? Tentu tidak bagi saya. Saya miris. Miris setiap melihat perempuan itu, meski hanya beberapa detik saja, ketika melintasi tikungan itu kecepatan motor saya kira-kira 30 km/jam. Mengapa Dianti, anggap saja dia bernama itu, depresi dan nangkring di jalanan. Apakah dia dulunya seorang yang kaya kemudian bangkrut karena terjerat hutang yang banyak? Sakit karena keturunan? Atau dikecewakan orang yang dia cintai?

Hmmm, dikecewakan oleh orang yang dia cintai. Jika pasti karena itu, saya dapat membayangkan dan merasakan betapa pedihnya. Betapa terlukanya. Jiwa raga serta pikirannya tentulah sudah diserahkan kepada yang ia cintai. Utuh. Kemudian hancur seketika, bersama perasaan dan akal sehatnya.

Tentunya orang-orang seperti Dianti memiliki kepribadian melankolis yang dominan. Sama seperti saya. Di beberapa buku psikologi yang saya baca, bahwa orang-orang melankolis cenderung mudah gila. Jleb! 

Karena ia sangat sensitif, perfeksionis, peragu, hati-hati, introvert. Kadang-kadang menunjukkan watak yang berbeda kepada orang lain untuk menutupi watak dia sebenarnya. Jika memiliki masalah dia akan cenderung memendamnya dan diselesaikan dengan caranya sendiri. Bahkan untuk meraih kebahagiaannya dia akan berada hidup di masa lalu ketika dia sedang bahagia. Terpenting dari seorang melankolis adalah seorang penyimpan kenangan yang baik. 

Mengenai bagaimana melankolis lebih lengkap dan ilmiah kamu bisa baca sendiri di buku-buku psikologi atau silakan bertanya langsung kepada Tuhan Google. Saya yakin Beliau akan menjawabnya dengan ramah.

Minggu-minggu selanjutnya saya lewat jalan itu, saya perhatikan Dianti tidak berganti pakaian. Dia hanya memakai celana kulot 3/4 dan blus motif bunga. Semakin hari pakaian itu semakin lusuh. Saya mulai berpikir bahwa dia sudah tidak pulang. Apakah dia sudah tidak ingat pulang? Pulang, tapi pintu rumahnya sudah benar-benar tertutup dengan kehadirannya. Dalam hal ini dia berarti sudah dibuang oleh keluarga?

Duh, Dianti. Pikiran saya tidak lepas darimu. Kamu masih muda. Mungkin sedikit di atas umurku. Mungkin kamu punya anak. Jika masih lajang dan kamu sehat walafiat, tentunya kamu akan menjadi perempuan yang memesona. Banyak lelaki yang akan terpikat sama kamu. Dari roman wajahmu, saya yakin kamu sebelumnya kamu adalah perempuan kuat dan mandiri.

*

Suatu hari, saya membereskan baju-baju dalam lemari saya yang berantakan. Diantara baju-baju itu saya menemukan sebuah blus batik baru. Belum pernah saya pakai. Masih terbungkus rapi dalam plastik toko. Batik itu pemberian seorang kerabat. Saya jadi ingat Dianti yang berpakaian lusuh. Saya pikir daripada baju itu teronggok dalam lemari, mending buat Dianti saja. Tapi saya tak enak, karena batik tersebut adalah batik pemberian. Kurang ajar sekali kalau saya memberi baju ke orang padahal baju itu adalah hadiah untuk saya. Di mana rasa bersyukur dan penghargaan saya? Ya, walaupun saya tidak menyukainya setidaknya, barang pemberian seseorang itu haruslah disimpan sebagai kenangan.

Saya berpikir keras. Antara memberi atau tetap menyimpan batik itu dalam lemari saya. 

Akhirnya saya menelepon kerabat saya dan meminta izin untuk memberikan batik pemberiannya kepada orang yang lebih membutuhkan. Kerabat saya bertanya alasannya. Mungkin dia agak kecewa juga. Tapi setelah saya jelaskan bahwa batik itu terlalu besar untuk ukuran tubuh saya dan sudah menganggur sekian lama dalam lemari, daripada mubazir lebih baik dihibahkan saja. Untunglah setelah saya menyebutkan sebuah kata sakti: mubazir, kerabat saya pun luluh. Untungnya lagi kerabat saya itu seorang muslim yang taat dalam hal bersedekah. Ah, lega.

Saya pun segera memasukkan batik itu ke dalam tas. Tapi kemudian yang menjadi masalah adalah bagaimana caranya saya memberikan batik itu? Terus terang saya agak ngeri juga. Takut jika dia marah dan memukul saya. Takut dia menolak dan melempar batik yang hendak saya beri ke tengah jalan. Yang lebih saya pikirkan adalah bagaimana caranya agar ketika saya memberi, tidak diperhatikan oleh orang-orang yang sedang melintas. Apalagi jalan itu begitu ramai meski sempit. Saya hanya malu. Malu jika diperhatikan. Apalagi jika orang berpikir bahwa saya adalah orang yang sok kaya dan sok peduli. Tidak. Kepribadian saya tidak secantik itu. Saya bukan orang baik. Sekali lagi catat bahwa saya bukanlah orang baik dan bukan orang baik-baik. 

Saya cuma tidak pede. Itu saja masalahnya.

Tapi ya sudahlah. Lagi pula saya memakai masker. Orang-orang tidak akan melihat muka saya. Strategi agar tidak terlalu diperhatikan orang adalah saya akan memarkirkan motor saya agak jauh. Kemudian saya lari ke Dianti. Memberi batik yang sudah dimasukkan di kresek hitam. Lalu berkata, "Hallo." Lalu saya lari kembali ke motor saya. Menstarternya cepat-cepat. Dan ngacir sekilat yang saya mampu.

*

Di pertengahan November 2013 lalu tepat ketika saya ulang tahun, saya akan melakukan jalan-jalan sendiri. Membahagian diri sendiri. Melakukan hal-hal yang saya sukai yang sudah lama tidak saya lakukan. Meluncurlah sesorean dari selatan ke utara. Tentu saja lewat Jalan Bantul agar bisa langsung ke Nagan Kidul.

Di jalan saya kembali berpikir. Saya ingin sekali berbincang-bincang dengannya. Saya juga ingin sekali memotretnya. Menyimpan kenangan tentangnya, bahwa pernah ada orang asing, seorang perempuan malang yang sudah pernah mengisi pikiran-perasaan saya. Lagi pula hari itu adalah hari ulang tahun saya. Hari bahagia saya. Dan saya juga sedang mengalami hari-hari indah. Merayakan kebahagiaan dengan Dianti bisa jadi salah satu kado terindah saya yang kedua di tahun 2013. Tentu saja.

Saya tidak peduli dengan ketakutan-ketakutan saya. Tidak peduli dengan rasa malu. Dan ketidakpercayaan diri. Yang penting saya bisa berkenalan dengan Dianti, si perempuan malang. 

Sampailah saya di perempatan besar lampu merah Jalan Bantul. Persimpangan antara Jalan MT Haryono - Suryowijayan - Sugeng Jeroni. Angka traffic light masih menunjukkan 67 detik. Jalan Nagan Kidul sudah terlihat dari kejauhan. Hari itu ssekitar jam 3 sore. Jalanan tidak terlalu ramai. Dada saya berdegup semakin kencang. Berkali-kali saya menelan ludah. Saya berkaca di spion. Wajah saya tak kelihatan karena memakai masker. Tapi saya dapat melihat rona mata saya yang cemas.

Traffic light: 4... 3... 2...1...0... hijau.

Gas motor saya tarik pelan. Melaju, belok kanan sedikit. Belok kiri. Sampailah saya di belokan Jalan Nagan Kidul. Mata saya mencari-cari sosok Dianti. Tak ada seorang pun di sana. Sepi. Masih penasaran, Saya kembali memutar lewat Jalan Suryowijayan. Sampai di Nagan Kidul. Saya mencari-cari sosoknya. Tidak ada. Kecewa. 

Saya pun melaju. Merayakan ulang tahun saya sendiri. Pergi ke toko buku untuk melihat deretan buku-buku best seller. Ke Disc Tara. Melihat-lihat dan mendengarkan album swing Big Bad Voodoo Daddy terbaru dan beberapa album musik klasik kompilasi. Makan lumpia favorit di depan hotel Mutiara Malioboro. Minum es teh.

Mumpung belum terlalu sore, saya memutuskan untuk pulang. Lewat arah Alun-alun Kidul agar langsung ke Jalan Nagan Lor, belok kiri ke Jalan Nagan Kulon, hingga sampailah di perempatan Jalan Nagan Kidul. Tak ada perempuan itu, Tak ada Dianti. 

*

Esoknya saya kembali. Menelusuri jalan yang sama dari selatan ke utara. Dan sebaliknya. Dia tak di sana.

Begitu pun esok. Dan esoknya setiap kali saya ke utara. Tak ada sosok perempuan malang yang melamun. Berbicara sendiri. Marah-marah entah sama siapa. Tikungan itu kini sepi. Benteng yang menua. Trotoar yang lengang. Hanya tinggal spanduk caleg yang masih setia menggantung di pagar besi. Terbentang resah menunggu hasil pemilu di bawah pohon nangka.

Batik untuknya pun masih setia terbungkus dalam pastik toko dan kresek hitam. Masih mendekam dalam tas. Hingga sekarang.


-agnesch-122014

No comments: