07 November 2014

Di Hari Kematian Ayah, Saya Tidak Menangis

Saya dan Ayah sedang beristirahat ketika akan rekreasi ke Candi Borobudur
Ini adalah hari kematian ayah. Tepat ketika saya mengetik di paragraf pertama ini.  7 November 2007, tujuh tahun lalu, di musim penghujan, ketika Ashar tiba. Malaikat menjemputnya.

Ketika itu, saya sedang berada di Jogja. Mendapat telepon, dari teman kecil saya Rara, yang saat ini juga sudah almarhum, ketika saya sedang memesan mi di warung indomie. Rara memberitahu kalau ayah sakit. Tapi, saya menebaknya, ayah meninggal. Benar saja, beberapa menit setelahnya, adik perempuan saya mengirim pesan pendek, “Put, pulang. Ayah meninggal.”


Saya menghabiskan indomie saya, sembari berpikir ulang, dan mereka-reka dalam otak saya bahwa, ini semua hanya becanda. Saya pulang dengan kereta api Lodaya Malam dengan membawa pinjaman uang Rp400.000 dari Puthut EA. (Ketika itu honor edit dan layout buku belum turun dan dompet saya tinggal Rp50.000-an). Sepanjang perjalanan saya menatap keluar jendela yang gelap. Hanya pendaran lampu yang samar oleh air hujan yang menimpa ke jendela kereta. Sesekali saya dapat bercermin. Sesekali saya melihat celana jins saya yang robek di bagian salah satu lututnya. Saya sengaja memakai celana jins yang belel dan robek, serta sandal jepit. Karena, saya masih menganggap bahwa semua ini hanya gurauan ayah saya. Dan saya ingin membalas mengerjai ayah dengan gaya saya berpakaian yang dia tidak suka. Saya ingin dia protes. Dari saya kuliah di Bandung, Ayah memang sering protes dengan gaya berpakaian saya. Terutama dengan sandal jepit saya.

“Anak perempuan sudah dibelikan sepatu bagus, masih pakai sandal jepit. Kayak mau ke WC.”

Jika dikatai seperti itu, saya hanya nyengir. Tapi sesekali saya timpali, “Nanti kalo pake sepatu bagus, terus dandan, makin banyak yang naksir, dong. Kucel kayak gini aja banyak yang naksir. Gimana kalo dandan. Bingung nanti ayah pilih calon mantu.”

Kemudian ayah pasti akan tertawa lalu menjitak kepala saya.

Jam 2.30 malam, kereta sampai di stasiun Tasikmalaya. Hujan sudah mereda. Adik laki-laki saya sudah menunggu saya dengan motornya di luar. Ekspresinya datar, seperti biasa. Tanpa berkata-kata selama perjalanan menuju rumah.

Sampai di rumah, halaman depan  sedikit berantakan. Beberapa kelopak bunga berserakan. Saya memasuki ruang tamu. Ada sebuah keranda yang telah ditutupi kain berwarna hijau dan bertuliskan huruf arab. Beberapa kembang berjuntai di atasnya. Saya menyiumi tangan paman-paman saya, dan mencium kedua pipi nenek saya yang duduk bersimpuh di sofa belakang. Kemudian saya bersalaman dengan sepupu-sepupu saya yang berkumpul.

Saya menatap sebuah kursi yang ayah biasa duduk di sana. Kosong. Hanya ada sisa beberapa batang Dji Sam Soe di asbak. Itu rokok ayah. Saya mencari ayah ke seluruh ruangan, tetap tidak ada. Terakhir, saya menengok ke kamar ayah. Di sana ada mama dan dua adik perempuan saya yang tertidur. Tak lama mereka bangun, Saya melihat mata kedua adik saya sembab. Terlalu banyak menangis. Lalu mama, tiba-tiba menangis, “Put, kasian ayah, ya?” Sambil memeluk saya. Saya jarang melihat mama menangis. Saya tak berkata apa-apa. Dan saya tak menangis.

Saya masih berpikir, bahwa semua ini hanyalah gurauan. Saya masih berpikir bahwa semua ini hanyalah sandiwara keluarga agar saya pulang dari Jogja. Lantas saya mengganti pakaian saya. Karena tidak ada protes.

Entah kenapa saya tidak menangis pada saat itu. Walaupun saya melihat jasad ayah ketika keranda itu dibuka, ketika hendak dimakamkan. Saya masih saja tetap berpikir bahwa itu hanya gurauan. Bahwa ini adalah siasat ayah saya agar saya pulang. Ini semacam konspirasi keluarga. Sebab sebulan sebelumnya, ayah sempat melarang saya berangkat ke Jogja. Dan saya yang keras kepala, sulit untuk dilarang.

Saya mengingat pesan terakhirnya ketika saya hendak pergi setelah mencium tangannya.
Tatapan kecewa terhadap keras kepala saya.
Bayangan tubuh itu, mengantar saya pergi dari balik jendela.
Dan mungkin. Mungkin saya satu-satunya anak yang tidak menangis di hari kematian ayahnya.

7-11-2014

No comments: