06 January 2014

Perempuan Misterius yang Menyumbang Air Mata

Menjelang tahun baru, saya pergi ke Jogja Library Center di Jl. Malioboro untuk mencari beberapa arsip. Entah saya yang bodoh atau gimana ternyata tempatnya tutup. Padahal Tahun Baru masih 4 hari lagi. Berpikir. Oh, ya itu hari Sabtu. Ternyata saya yang bodoh. Akhir-akhir ini stadium penyakit lupa saya mengalami peningkatan yang drastis.

Tak ingin sia-sia setelah berpanas-panasan sejauh 15 KM dengan mengendarai motor, akhirnya saya memutuskan menyebarang jalan, memesan es teh di angkringan. Duduk-duduk di kursi semen, di bawah pohon sambil sesekali memotret toko-toko tua di sekitar situ. Es teh datang. Saya menyeruputnya. Nikmat sekali. Kebetulan, ketika itu saya juga janjian dengan beberapa teman di tempat yang sama menjelang Magrib. Melihat jam di telepon genggam masih jam 13.48. Oke. Saya masih punya waktu 3 jam. 

Saya menyalakan laptop. Membuka email dan akun media sosial. Mengetik beberapa timeline. Sign out. Dan membuka MS Word, melanjutkan tulisan semalam. 

"Wartawan mana, Mbak?" Seseorang tiba-tiba menghentikan ketikan saya.

"Maaf? Saya?"

"Lha iya."

"Bukan. Saya bukan wartawan."

Perempuan itu melirik kamera dan laptop saya.
"Rajin ya, nulis di tempat umum kayak begini. Asyik juga, ya. Sering nulis di sini?"

Saya tertawa. "Ini pertama kalinya. Dan gak diniatin." Kemudian saya bercerita tentang niat awal saya untuk mencari arsip, namun gagal. 

"Saya dulu suka nulis. Tapi sejak nikah saya berhenti. Apalagi punya anak. Nulis status di facebook aja gak sempat."

"Lho, kenapa? Sayang lho. Saya juga mulai nulis lagi akhir-akhir ini. Sebelumnya, kacau."

"Saya sekarang cuma rajin nulis surat untuk anak saya."

"Emang anaknya di mana?"

"Di Jogja juga. Masih tinggal dengan saya."

Kening saya mengkerut.

"Saya nulis surat untuk ulang tahun anak saya dari yang ke-4 tahun sampai 25 tahun." 

Saya masih belum mengerti. 

"Saya terinspirasi film Kuch Kuch Hota Hai."

Saya baru ngeh. Untunglah saya juga penggemar film itu. "Memangnya kamu kenapa, Mbak?" 

"Kata dokter sih, saya akan mati 6 bulan lagi."

Saya kaget. Ajaib sekali seorang dokter bisa menentukan waktu kematian seseorang. Seperti Tuhan saja. "Emangnya Mba sakit? Sakit apa?"

"Apalagi kalau bukan kanker."

Tenggorokan saya tercekat. "Kanker apa?"

"Kelenjar getah bening. Stadium 4."

Tangan saya gemetar. Sampai-sampai jari menekan-nekan keyboard laptop dan mengacak-acak tulisan saya. Saya menutup laptop dan memasukkannya ke dalam tas. Saya mulai memperhatikan perempuan itu lebih detil. Umurnya mungkin tak jauh beda dengan umur saya. Rambutnya pendek dan tipis. Urat-uratnya yang hijau terlihat samar terbungkus kulitnya yang terang. Beberapa bekas luka jarum infus dan suntik di lengan yang mengering. Juga beberapa ungu lebam yang samar di kulit lengan dan wajahnya. 

"Mba, habis kemo, ya?"

"Iya, 3 hari lalu. Kok kamu tahu?" Dia bertanya.

"Saya pernah lihat orang habis atau sedang masa kemoterapi. Ciri-cirinya sama." Mata saya tak berpaling menatap bekas-bekas lukanya."

"Oh ya?" Dia tertawa. "Lucu ya, badan udah sakit. Masih aja harus dimasukin zat kimia, yang sebenarnya itu juga menghancurkan tubuh kita sendiri. Tapi ya, mau gimana lagi. Harapannya cuma itu dan kekuatan doa. Ini kemo terakhir saya. Buat apa saya kemo, kalau dokter sudah memvonis saya akan mati 6 bulan lagi. Duitnya mending ditabung untuk anak sekolah. Ya, gak?"

Ada benarnya. "Gak pakai asuransi?"

"Pakai. Tapi gak full. Cuma untuk sewa kamar doang. Lainnya orang tua saya yang bayar. Suami saya sebenarnya bisa bayar. Cuma dia udah gak peduli sama saya. Lagian saya juga lagi proses cerai dengan suami. Minggu depan mulai sidang."

Tenggorokan saya kembali tercekat. Perih rasanya. Bagimana bisa seorang perempuan yang sudah divonis akan mati dalam waktu 6 bulan dan dia juga akan bercerai dengan suaminya. Perempuan yang mengalami penderitaan secara fisik, juga mengalami penderitaan psikis secara bersamaan. Meski dia tampak ceria dan sekilas layaknya orang normal. Tapi kutahu persis, dia pasti sedang hancur. Hancur sekali.

"Maaf, Mba. Kenapa mesti cerai? Kan, di kondisi Mba yang sedang sakit, pasti butuh seseorang untuk menguatkan kita?"

"Dulu saya pikir begitu. Tapi ternyata kekuatan saya itu ada di anak. Kalau gak ada anak saya udah pasrah aja mau mati kapan. Tapi karena ada anak, makanyanya saya mau kemoterapi. Malah kayaknya saya akan lebih bahagia kalau nanti saya sakarotul maut, yang ada di samping saya itu anak dan orang tua. Bukan suami. Mikir dia aja saya sudah stress. Lihat wujudnya aja, saya udah ketakutan."

Saya diam. Ya, dia benar. Stress membuat kondisi badan yang sudah sakit akan bertambah parah.

"Saya cuma berdoa agar mantan suami saya, kalau kami udah benar-benar cerai dia bisa menemukan jodoh yang baik. Yang sayang sama anak saya."

Dia menatap nanar. Matanya berkaca-kaca. "Benar, yang saya pikir itu sekarang soal masa depan anak. Itu aja. Anak saya masih kecil.

"Umur berapa anaknya?"

"Mei nanti 4 tahun."

Sama kayak Zapata, anakku. Mei nanti dia juga ulang tahun keempat. Saya jadi ingat wajahnya. Senyumnya yang lebar. Tawanya yang keras. Celotehannya yang polos dan menggemaskan. Cara dia berjalan. Lari-larinya. Dan pelukannya yang hangat. Dan saya jadi berpikir, bagaimana kalau saya bernasib sama dengan perempuan itu. Ketika tahu kapan saya akan mati. Meninggalkan anak saya yang masih sangat kecil. Apakah dia bisa hidup tanpa saya? apakah dia bisa tumbuh berkembang menjadi laki-laki yang baik? apakah dia juga akan menangisi kepergian saya?

"Hei!"

Perempuan itu membuyarkan lamunan saya. Saya tersenyum. Kecut.

"Ya udahlah. Maaf lho udah ganggu kerjaan kamu. Saya mau jemput anak. Semalam dia tidur di rumah ayahnya. Makasih, ya."

Dia berdiri. Saya ikut berdiri untuk mempersilahkan dia pergi. Dia mengulurkan tangannya. Menyalami saya. Memeluk saya. Erat. Erat sekali.

"Setahu saya, penulis itu cengeng. Tapi sebenarnya dia kuat." Dia tersenyum. Itu kata-katanya yang terakhir.

Kemudian dia berjalan ke selatan. Entah ke parkiran. Atau kemana. Tanpa pernah tahu siapa namanya. Dari mana asalnya.

Yang jelas tenggorokan saya makin sakit. Saya duduk. Menundukkan wajah saya ke tas yang saya pangku. Memuntahkan air mata. Tidak peduli dengan Malioboro yang semakin ramai dengan turis. Tidak peduli.

06/01/2014
1:59 WIB






No comments: