03 July 2013

Kucing Kampung Saya, Sosialis

awal 2004 lalu, saya berencana mengadopsi seekor kucing persia. saya hunting kemana-mana. ke beberapa kawan pecinta kucing, ke pet shop, black market, sampai rajin baca iklan di koran. kucing persia terlihat oke dan cantik. bulunya lebat, hidung pesek, dan kuping yang kecil. tentu saja harganya lumayan.

desember 2004, dua minggu sebelum natal, saya pulang kampung. rumah keluarga kami tinggal di perumahan tahun 80-an. sepi dan banyak tetangga yang pelihara kucing. tapi, tidak ada yang pelihara kucing persia. saya berfikir tentu akan menjadi kebanggan tersendiri jika saya punya kucing persia.

malam itu gerimis. dan dingin. mama masak spesial buat saya; sayur asem, sambal terasi, dan ikan asin. aroma ikan asin jambal roti. hmm...

seekor anak kucing mengeong cerewet, menyusup ke dapur kami. dan ayah menyuruh adik bungsu kami memberi makan anak kucing itu.
nasi separuh piring dan ikan asin dilahap anak kucing kampung berwarna abu-abu. hei, dia pergi! dia tidak menghabiskan makanannya. saya kesal dengan anak kucing itu. dia sudah menghamburkan jatah ikan asin saya.

makan malam selesai. melihat seonggok piring dengan nasi dan ikan asin yang masih banyak, saya kembali kesal. anak kucing berwarna abu-abu itu datang lagi. mengeong cerewet. saya lega. pasti dia masih lapar dan akan memakan makanannya yang belum dihabiskan. tapi, dia tidak sendiri. dua ekor anak kucing kampung mengekorinya. 

dan, saya tak percaya dengan apa yang saya lihat. dua teman anak kucing itu memakan makanannya. sedangkan anak kucing kampung abu-abu itu, hanya melihat kedua temannya makan dengan lahap. ayah saya berkata, "kok kucing bisa begini, ya? mungkin tadi di luar dia susul temen-temennya dan bilang: 'ayo kita ke rumah itu, di sana ada makanan!'

saya malu dengan diri saya. saya mahasiswa. saya aktivis prodem. saya gemar meneriakkan lawan imperialisme, menentang kapitalisme, doyan lagu-lagu sosialisme. tapi, anak kucing abu-abu itu jauh lebih sosialis dari saya. 

dia masih anak-anak, tak ada orang tua, hidup luntang-lantung di jalan, cari makan mengorak-ngorek bak sampah, kalau datang ke rumah orang sering diusir, ditendang, bahkan disiram air panas. tapi dia tetap bertahan. dia kuat. mandiri. sampai dia dewasa dan renta. dia tetap di jalanan.

saya jadi ingat kucing persia. dia begitu mahal, dipuja-puja, disanjung, dan direbuti banyak orang. tapi dia lemah, dia terlalu manja, tidak mandiri, dan tentu saja produk luar. tiba-tiba saya tidak suka.

dan tiba-tiba saya suka kucing kampung. buat apa saya memburu dan menggila-gilai kucing import, sedangkan di jalanan masih banyak kucing kampung butuh makan dan tempat berteduh? saya malu. malu sekali.

saya mencintai anak kucing kampung berwarna abu-abu itu. kami beri nama NYILNYIL. dia tetap bertahan di rumah kami. meskipun satu temannya mati, dan satunya pergi tidak kembali. dia tinggal bersama kami, menjadi anggota keluarga baru kami. sampai sekarang.


to nyilnyil
i miss you. so much.

No comments: